Terserah mau dosa atau tidak. Tapi aku sangat menyayanginya. Akutidak
dendam pada bekas suamiku yang memperkosaku, hingga terpaksa aku mau
menikah dengannya, karena aku sudah hamil dalam usia 15 tahun. Saat aku
pulang sekolah di sebuah desa. Setelah akumelahirkan, suamiku itu
meninggalkan aku. Kami tak tau dia entah kemana. Aku hanya mengenal
suamiki, ketkka dia bekerja membangun SD Inpres, ikut dengan
rekan-rekannya bekerja dari sebuah kontraktor. Begitu aku melahirkan,
dan rekan-rekannya sudah pada pulang, dua bulan kemudian, dia pun hilang
meninggalkanku. Aku hidup bersama ayah, ibu dan kedua kakak laki-laki
di desa kami.
Karena prihatin, sebelum meningal kakekku memberikan aku tiga petak
sawah miliknya, sebuah gubuk dan sebidang perladangan di belakang gubuk
itu. Aku pun tingal di sana bersama kakek dan anak semata wayang. Saat
aku menjualkan saturan dan singkong ke pasar, Kakeklah yang menjaga
anakku. Ketika kakekku meinggal usia anakku sudah enam tahun dan
sekolah. Setiap pagi aku harus embencengnya ke sekolah, lalu aku
berujualan di pasar tak jauh dari sekolahnya. Setelah dia pulang
sekolah, anakku Anto (samaran) ikut menemaniku berjualan dan kami makan
nasi bungkus di pasar. Begitu seterusnya, sampai dia memasuki SMP.
Sejak kelas dua SD, Anto aku belikan seekor kambig betina dan terus
berkembang menjadi belasan. Jika ada kebutuhan sekolah, kaming itu kami
jual. Beli k\buku, tas, sepatu, seragam sekolah dan sebagainya. Dua kali
dalam setahun, kami menjual kambing. Sepulang sekolah, akuikut
mengangon kambing bersama Anto anakku dan sembari aku mengambil daun
untk dijual, singkong, sayuran dan sebagainya.
Anakku Anto tumbuh dengan normal dan sehat, tegap dan kuat. Telur bebek
dan ayam menjadi menu kami, bila pulang dari pasar. Hampuir setiap hari
kami makan telur bebek atau ayam dari peliharaan kami sendiri, terkadang
kami justrui menjual telur, ayamnya dan bebeknya.
Rumah kami (tepatnya gubuk) memang terpencil dari perumahan di desa.
Kami berada agak di perbukitan. Saat aku pulang mencuci kain di kali
kecil dekatsawah kami, akutak melihat Anto dimana-mana. Saat aku
melangkah ke kamarnya, aku terkejut. Anto melepas celananya hinga
setengah telanjang. Dia sedang mempemainkan kemaluannya yang mengeras
dan matanya terpejam rapat, hingga dia tak sadar, kalau aku sudah
memasuki kamarnya.
Sirrrr…. darahku berdesir. Kemaluanku pun ikut bergejolak. Tapi dia kan anakku? Anak kandungku sendiri? Tapi….
Sering aku membayangkan, betapa indahnya punya suami. Siapa yang mau
mengawini aku. Orang desa, kurang cantik, sudah janda dan ditingal pergi
lagi. Miskin dan hanya seorang petani biasanya. Banyak laki-laki yang
selalu menggodaku, tapi bukan untuk dijadikan isteri melainkan untuk
kepuasan belaka. Jelas aku menolak mereka, baik secara halus maupun
secara kasar.
Haruskah…..?
Kudekati Anto. Kulihat kemaluannya dipermainkan dengan mata terpejam,
sampai akhirnya dia mengeluarkan spermanya beberapa kali. Aku seprti
takpercaya, dalam usianya yang ke 14 tahun dia sudah mengeluarkan sperma
begitu banyak. Tak lama matanya terbuka dan terkejut melihatku.
“mBok… Maaf…” katanya terbata-bata. AKu tersenyum saja dan mengelus kepalanya.
“Kamu sudah dewasa,” kataku. Saat itu baru aku sadar, kalau hampir
setiapmalam (kami tidur sama pada tempat tidur yang sama-toh dia anakku)
kalau setiap malam dalam tidur kami, Anto selalu memelukku dan aku
merasakan sesuatu di pahaku. Yah.. ternyata oitu adalah kemaluan anakku.
Rupanya Anto hampir setiap malam menggesekkan kemaluannya pada pahaku.
Malam itu, aku tahu Anto belum tidur, tapi pura-pura tidur. Aku ingin
tahu reaksi kedewasaan anakku. Mungkin di sinilah kesalahanku. Aku tau
dia mengintipku dari matanya yang terpicing. Sengaja kulepas kain
sarungku dan bagian bawah aku benar-benar telanjang, kecuali kebaya
lusuh yang kupakai untuk tidur Aku pun menelentangkan diriku tidur di
sampingnya. Kutarik selimut. Aku tau Anto tidur dengangelisah, karean
sebenarnya dia belum tertidur. Tak lama, aku yang berpura-poura sudah
pulas dan berpura-pura mendengkur halus. Sekali lagi aku ingion tahu apa
yang aka dilakukan oleh anakku. Apakah dia memenuhi keinginanku?
Ya… Anto mulai meraba kemaluanku. Rambut kemaluanku dielus-elusnya.
Perlahan berpura-pura mengigau, aku mengangkangkan kedua kakiku, hingga
dia bebas meraba kemaluanku. Aku tau, kalau dia melepas celananya dan
membuka perlahan selimut kami. Dan….
Aku perlahan menindihku dan mencoba mencari lubangku dan menekankan
kemaluannya ke dalam lubangku. Tentu saja cepat masuk, karea
sesungguhnya aku sudah basah. Saat kemaluannya sudah masuk, perlahan aku
mengangkat kakiku, agar dia tak tau aku meresponsnya. Anti mulai
memompaku langsung dengan cepat. Tak lama spermanya terasa hangat di
kemaluanku. Sebenarnya aku sangat kecewa.
Anto pun mencabut kemaluannya dan pergi ke sumur di belakag rumah. AKu
mendengar suara ceboknya. AKu ahnya melap saja kemaluanku dengan kain
sarungku dan ketika aku mendengarnya mau memasuki kamar, aku
berpura-pura tidur lagi. Antomenarik selimut dan menyelimuti kami
berdua. Dia tidur di sampingku. Aku mampu merasakan apakah nafasnya
sudah normal atau belum. Aku berpura-pula mengigau lagi dan memeluknya.
Sengaja pahaku mengenai kemaluannya dan bulu-buluku mengenai pahanya.
Perlahan kulepas kancing peniliti kebayaku, hingga tetekku menempel di
tubuhnya. Aku sangat senang, ketika aku merasakan kemaluannya kembali
bangkit dan mengeras. Kutungu reaksinya.
Perlahan Anto melepas selimut kami. Di telentangkannya tubughku dan aku
berpura-pura mendengkur. Kedua kakiku dikangkangkannya kembali dan dia
menindih lagi tubuhku. Kemaluannya dia masukkan ke dalam lubangku. MUlai
dia memompaku dari atas. INilah saatnya, aku harus melepaskan
kenikmatanku, bisik hatiku. Aku tak mau Anto lepas lagi dan aku harus
kecewa. Perlahan aku memberi respons dan mencari titk nikmatku sendiri.
Saat Anto mulai memompaku dengan cepat aku memberinya respons dan
membuka mataku, seolah-olah aku marah.
“Anto… kenapa jadi begini, Toleeee…..” kataku seaka lirih. Aku
memeluknya dan mencari-cari dimana kenikmatanku. Melihat aku memberikan
reaksi, Anto semakin berani dan terus memompaku. Akhirnya aku menemukan
nikmatku dan Antojuga melepaskan kenikmatannya. Kami pun tidur dengan
lega setelah kami sama-sama menikmatinya.
Besok paginya, kami terjaga. Aku lebih dulu dan mempersiapkan sarapa
[pagi. Setelah sarapan tersedia, aku membangunkan Anto untuk mandi.
DIOabangu dengan tersipu.
“Sudah.. tak usah malu. Itu tandanya kamu sudah dewasa. Tapi kamu tak
boleh ceriota kepada siapapun juga. Jika kamu cerita, aku akan minggat
meninggalkanmu,” kataku lembut tapi mengancam. Anto tersenyum dan pergi
ke sumur untuk mandi. Kami pun sarapan bersama, lalu pergi ke pasar
membawa dagangan dan Antoseterusnya ke sekolah.
Aku sangat bersyukur, lima hari kemudian aku mendapat haid. Saat
mendapat haid itu, Anto merengek-rengek meminta persetubuhan denganku.
Aku jelaskan padanya, kalau aku sedang haid dan menunjukkan darah yang
memerah pada pembalutku. Aku menjelaskan padanya apa itu haid dan kotor
serta bau. Seperti cerita cerita teman-teman di pasar, dengan
sembunyi-sembunyi, aku membeli kondom. Sekali beli berkisar satu lusin.
Saat ngangon kambing aku menjelaskan, kalau mulai sekrang, Anto harus
pakai kondom. Kujelaskan kenapa sampai dia mau mengerti.
Temanku jualan sayutr mayur menjelaskan padaku, kalau dia lagi haid, dan
suaminya memita, suaminya selalu mendapat jatah, melalui dubur. Dia
jelaskan pertama sedikit memang sakit. Tapi setelah dua tiga kali,
justrusebaliknya terasanikmat. Jatah itu hanyadiberikan pada saat dia
haid. Jika tidak, suaminya hanya diberikan jatah dua kali semingu,
maksimal tiga kali semingu, untuk kesehatan. Akumengikuti penjelasannya
sembarisenyum-senyum. Diamau bercerita padaku, karena aku janda dan
tidak akan mungkin melakukan persetubuhan.
“Bagaimana, apakah kamu sudah mau lagi?”
“Tapi Simbokne haid,” tanyanya. Aku tersenyum dan menjelaskan. Kami ke
kamar setelah dia selesai mengerjakan PR-nya. Kuleus-elus kemaluannya
sampai keras dan kupasangi kondom. Dia tersenyuj melihat kondom
menyarungi kemaluannya. Yah.. seumur hidup baru sekali melihat kondom
dan memakainya.
Kulepas sarungku. Aku naik ke ranjang dan menungging. Anto tetapberdiri
di lantai. Kuarahkan kemaluannya ke duburku. Kondom yang licin sudah
siap dimulut duburku. Kuminta Anto menekannya perlahan-lahan dan kuat.
Aku menuntunnya sesuai arahan temanku di pasar. Anto pun menekan
kemaluannya memasuki duburku. Perlahan dan perlahan. Terasa sedikit
sakit.
“Tahan sedikit. Jangan tekan dulu,” kataku menarik nafas. Kuemut-emutkan
lubang duburku menyesuaikan lubang dengan kemaluannya yang masuk.
Kuminta Anto menekan kembali kemaluannya. Dia mulai menekan sampai
semuanya berada dalam duburku. Anto memelukku.
“Tarik pelan pelan dan masukkan kembali pelan-pelan. Jangan
cepat-cepat,” kataku. Anto melakukannya. Tapi maki lama makin cepat dan
aku mulai merakan kenikmatan. Sampai akhirnya, Anto mencapai
kenikmatannya. Kemaluannya pun mengecil dan terlepas dengan sendirinya.
Malamnya kami tidur. Dalam berdampingan, aku memintanya untuk megisap-isap tetekku.
“Nyusu tole….” pintaku. Kusodorkan pentil tetekku. Anto mulai
mengisap-isap tetekku dan aku merasakan kenikmatan. Daerah dari
kemaluanku dala haid pun berbuncah keluar. Aku pun medapatkan ilmu itu
dari temanku di pasar. Jika haid, kita dicumbu, maka darah cepat banyak
keluar dan cepat kering. Benar, empat hari, aku benar-benar sudah
bersih.
“Kamu apa sudah tidak mau gituan lagi sama ibumu ini nak?” tanyaku lembut. Anto tersenyum.
“Kalau boleh, sekarang juga aku mau, bu,” katanya gembira.
“Ya… sebaiknya sekrang, biar nantui malam kamu boleh mengerjakan PR mu
dengan tenang. Tidak terbutu-buru,” kataku. Dia kelihatan gembira
sekali. Cepat dia berlari ke rumah dan menyiapkan kondom. Aku
menyusulnya dengan jalan santai. Walau orang tidak ada di sawah dan
ladangnya, aku harus tetap hati-hati. Karena ini adalah aib diriku. Tapi
aku membutuhkannya.
Cepat kulepas semua pakaianku dan kuminta Anto mengisapi tetekku sampai
aku terangsang betul. Setelah aku terangsang, aku tidur di kasur dan
mengangkangkan kedua kakiku. ANto akan datang menindihku dengan kemaluan
sudah berbalut kondom.
Aku sisergapnya. Nampaknya Anto sudah mulai mampu menguasai keadaan. Dia
tidak terburu-buru lagi. Kami sama-sama melampiaskan kenikmatan kami.
Entah darimana dia tau, diamulai bukan hanya mengisapi teteku saja juga
sudah menicumi bibirku dan mempermainkan lidahnya dengan lidahku.
Secara berangsur, kami keluar dari gubuk dan kembali mencabuti
sayuran. Anto selalu dudkk di sampingku. Dia tersenyum puas. Jika tak
ada orang, dia selalu memanjakan dirinya padaku dan aku memeluknya dan
membelai kepalanya. Jika aku membelai kepalanya, jika pun orang
melihatnya, mereka pastiakan mengatakan, betapa aku menyayangi anak
tunggalku. Kakak-kakakku serta aayah dan ibuku selalu mengatakan
demikian. Aku terlalu memanjakan anak tunggalku itu. Tetangga juga
berkata demikian.
Kami duduk mengikati sayuran. Dan Anto pun berbisik padaku.
“Bu, tiba-tiba kok aku masih mau, ya…”
“Jangan. Tak boleh keseringan. Kamu bisa sakit.”
“Bukankah, dalam minggu ini, kita belum melakukannya? Ayolah bu. Aku masih mau…”
“Haruskah kita kembali ke rumah? Nanti malah orang curiga,” kataku.
“Biar aku saja yang ke rumah mengambil kondom. Peganglah bu, sudah
keras..” katanya memintaku memegang kemaluannya. Otakku berpikir keras,
bagaimana caranya. Aku menyuruhka cepat ke rumah mengambil kondom
sekaligus memasangnya dari rumah. Anto berlari ke rumah. Tak lama dia
datang. Aku beejalan ke puncak bukit tak jauh dari tempat kami mengikat
sayuran. Di sana ada pepohonan. Anto datang berlari, seperti tak sabar.
Kusuruh dia rebah dan membuka celanya. Kemalua terpasang kondom benar
sudah mengeras dan berdiri menantangku. Pepohonan singkong yang rapat
sudah setingi pinggang. Kudatangi Anto dan kukangkangi dia. Aku
berjongkok sembari mengangkat sarugku. Kemaluannya kutuntun ke arah
kemaluanku dan memasukkannya. Aku tetap memeggang sayuran, seakan mau
mengikatnya. Aku melihat orang-orang mundar-mandir di bawah sana dengan
pekerjaannyamasing-masing,
semetara aku mulai memompa Anto dari atas. Tentu saja aku tak mau kehilangan kenikmatan.
Perlahan aku menggoyangnya dan terus menggoyang dengan tenang. Sesekali
orang dari bawah sana menegurku. Mengatakan sudah sore, jangn asyik
terus bekerja. Istirahat dan sebagainya. Aku membalas teguran mereka
dengan senyum sembari melambaikan sayuran yang kupgang. Mereka
terusberlalu satupersatu. Aku sudah tak tahan. Kupeluk Anto dari atas
dan kugoyang dengan keras dan cepat. Aku mencari kenikmatanku sampai
Anto merasa tubuhnya tertidih keras dan memlukku dari bawah.
“Bagaimana, enak?” tanyaku.
“Enaksekali bu. Terusin…” pintanya. Aku meneruskan. Menggoyangnya,
menciumi bibirnya dan mengisap-isap lidahnya. Tapi Anto tak mampu
bertahan. Dengancepat dibalikkannya tubuhku dan dia memompaku dari atas.
Kami berpelukan dan terus salig menggoyang. Kujepit pinggangnya dari
bawah dan Kami melepas kenikmatan kami bersama-sama.
Beberapa hari kemudioan. kami kembali lagi mencabuti sayuran. Saat
itu juga Anto meminta. Aku mengingat kalau kondom sudah habis. Tak
mungkin aku ke pasar lagi membelinya sementara hari sudah sore. Kembali
kuajar Anto ke puncak bukit tak jauh dari rumah kami. Setelah membuka
celananya aku mengisap kemaluannya dan mempermainkan lidahku, Nampak
Anto menyenanginya dan dia puas sekali dan melapaskan spermanya dalam
mulutku.
“Mau gantian ya nak?” kataku. Anto berpikir. Langsung kusuruh dia
menelentang di tanah beralaskan rerumputan yang empuk. Kukangkangi
kepalanya dan aku jongkok. Kuminta dia menngisap-isap kelamuanku. Aku
sendiri mulanya tak yakin, apakah dengan cara demikian bisa memuaskanku.
Ajaran teanku di pasar, selalu kuikuti. Lama-lama apa keinginanku
kuminta dipenuhi oleh Anto. JIlatan dan isapan pada itilku
dilaksanakannya. Sampai akhirnya aku merapatkan kemaluanku di mulutnya,
sampai dia susah bernafas. Dan aku pun mendapatkan puncak kenikmatanku.
Anto adalah anakku, pelampiasan kenikmatanku. Aku adalah ibunya, juga
puincak kenikmatannya. Walau kini Anto sudah menikah dan bekerja di
sebuah pabrik sebagai mandor kepala, kami tetapmelakukannya. Tentunya
dengan segala cara dan sangat rahasia. Anto selalu mengatakan, kalau dia
lebih nikmat bersamaku daripada bersama isterinya.
Entahlah. Tapi kami sudah melakukannya selama sembilan tahun dan kini masih terus melakukannya.Dosa Terinah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar