Kepulan asap dari sebatang rokok ketengan menemani lamunanku siang itu.
Deru kendaraan lalu lalang di antara alunan lagu dangdut dari TV pemilik
warteg di mana aku menumpang duduk sambil ngopi tak mampu menggugah
pikiranku yang melayang entah kemana. “Ngelamun aja lo, kangen bini
ya?’’, tegur Bejo, rekan sesama tukang ojek tempat kami bersama mangkal.
Aku hanya membalas dengan senyuman. “ Bu...kopi satu,’’ ujarnya kepada
pemilik warung. “Catur , Den?” ujarnya.”halah...bosen, dari pagi main
sama si Ujang, entar situ kalah lagi”, Bejo hanya nyengir mendengar
jawabanku. Siang ini memang pikiranku tengah galau, mengenang peristiwa
tadi malam dan pagi hari ini.
Aku tinggal menumpang mertua di sebuah rumah sederhana di kampung
perbatasan jakarta. Kami berasal dari keluarga dengan ekonomi pas-pasan.
Isteriku terpaksa menjadi TKI di Arab Saudi untuk memperbaiki keadaan.
Motor kreditan yang aku pakai untuk mengojek ini juga hasil jerih
payahnya.Kondisi mertua juga sama saja, ayah isteriku adalah tukang
bangunan yang lebih sering keliling dari satu proyek ke proyek lain
daripada dirumahnya sendiri, kadang berbulan-bulan tidak pulang. Bapak,
demikian aku memanggilnya, dulu sangat keras menolak pernikahan kami, ya
wajar, sudah susah kok dapat mantu yang juga susah. Sementara ibu
mertua kebalikannya, ia sosok ibu yang lembut dan baik hati. Mau
bagaimana lagi kalau memang sudah jodohnya. Dulu aku sempat bekerja di
pabrik sebelum akhirnya bangkrut dan aku kena PHK. Pernikahan kami
menghasilkan seorang anak usia 2,5 tahun yang kini diasuh neneknya, ibu
mertuaku.
Malam itu hujan sangat deras menghujam bumi. Aku tengah lesehan di atas
tikar lusuh menonton TV ketika tiba-tiba ibu mertua tergopoh-gopoh
keluar dari kamarnya menuju kamar mandi , lalu terdengar suara seperti
orang muntah. Aku menyusulnya,’’ada apa Bu? Masuk angin?, ia mengangguk
lemah. “Saya panggilkan Teh Nining sebelah ya bu? Tawarku. “Gak usah,
den, gak enak udah malam begini...mana hujan lagi”, jawabnya. “kalau
gitu saya bikinin teh panas ya bu, saya juga masih punya obat neh”, ibu
mengangguk lalu berjaan menuju kamarnya. Setelah mengantarkan teh dan
obat flu, kembali aku berbaring di ruang tamu sederhana itu sampai
akhirnya aku terlelap.
Jam dinding kusam itu menunjukan pukul 1.30 malam ketika aku mendadak
terbangun karena kembali ibu muntah-muntah di kamar mandi. Dengan segera
aku menyusulnya,’’Ibu muntah lagi?”, tanyaku...ia mengangguk lemah dan
berkata ‘’, Ibu kalau belum dikeroki biasanya belum mempan, tapi mau
bagaimana lagi,’’ jawabnya pasrah. Entah muncul ide darimana,’’ ya udah,
biar saya yang ngeroki bu, ibu tunggu aja di kamar’’, jawabku dan ibu
sepertinya tidak menolak kecuali ia menginginkan muntah-muntah lagi. Aku
bergegas menuju dapur, mencari piring kecil alas gelas dan menumpahkan
sedikit minyak goreng, tinggal 1 koin seratusan lama yang kebetulan aku
masih menyimpan beberapa. Agak sedikit kaget setibanya aku di kamar,
mendapati ibu telah berganti pakaian yang semula daster panjang kini
kain kemben batik yang warnanya telah lusuh. Namun bukan itu yang
membuat aku menelan ludah, tapi kemben sebatas dada itu telah menampakan
bahu ibu yang ternyata kuning bersih, ditambah ketatnya kain itu
menampakan lekak lekuk tubuhnya yang masih menampakan keindahan di
usianya yang 45 tahun itu. Namun pikiran kotor segera kusingkirkan,
bagaimanapun ia adalah orang tua isteriku yang harus kuhormati.
Mulailah aku mengeroki punggungnya dalam posisi ibu duduk membelakangiku
di atas ranjang tua di mana anakku juga tengah tertidur di atasnya.
Selesai,di bagian pangkal leher dan bahunya, kini gilirang punggung
bagian tengah,”maaf bu, kainnya bisa diturunkan sedikit?’, pintaku
karena kain kemben itu menghalangi. Ibu mengangguk pelan dan membuka
ikatan kain tersebut namun karena kurang hati-hati kain itu melorot
hingga pantatnya yang dibungkus celana dalam putih lusuh, dan yang
membuat sesuatu di balik celanaku tak bisa diajak kompromi adalah karena
sekilas sisi payudaranya terlihat. Ibu segera membenahinya dan mendekap
sarung batik itu didadanya, dan aku seolah-olah tak melihat pemandangan
indah itu kembali melanjutkan kerokan ku. Peluh mulai bercucuran di
dahi ku, bukan hanya karena mengeluarkan tenaga tetapi juga menahan
hasrat yang terpendam, setelah setahun berlalu tanpa sentuhan isteriku.
Paling maksimal aku hanya bisa melakukan masturbasi untuk sekedar
pelampiasan. “Ibu kalau capek, baring aja”, pintaku dan ibu menuruti
dengan berbaring tengkurap sehingga aku bisa melanjutkan mengeroki
punggung mulusnya itu, yang tampak berkilauan terkena sinar redup lampu
kamar, belang-belang merah bekas kerokan tak bisa menghilangkan
keindahannya. Keringat dingin mulai keluar dari pori-pori kulitnya. Aku
terus bekerja sampai kemudian kudengar dengkuran halus keluar dari
mulutnya, ibu tertidur. Dan entah kenapa aku tak serta merta
menghentikan kerokan, seolah-olah ingin lebih lama menikmati pemandangan
sensual tubuhnya. Khawatir ibu terbangun tiba-tiba, kini aku hanya
memijat-mijat pelan pinggangnya...terus ke bawah hingga tumpukan daging
kenyal pantatnya yang membusung itu.
Mula-mula tanganku gemetar, namun menyadari ibu seolah-olah kian
tenggelam di alam mimpi, aku makin memberanikan diri. Entah setan mana
yang mengendalikanku, usai berlama-lama menjamah pantatnya, kini kucoba
pelorotkan sarungnya ke bawah. Mataku nanar menyaksikan bayangan belahan
pantatnya dibalik celana dalam lusuh yang menipis akibat keseringan di
cuci itu, mana berlubang di sana-sini menampakan kulit di belakangnya,
desakan batang kontolku kian mendesak celana pendek yang kupakai,
menciptakan semacam tenda kecil di antara selakanganku. Dengan tangan
gemetar ku pelorotkan celana dalam ibu secara perlahan, hubungan
mertua-menantu ke depan dipertaruhkan dalam aksi nekat itu. Gerakanku
terhenti ketika tepi paling atasnya tiba di pangkal paha ibu mertua yang
agak merapat itu. Tentu saja bentuk pantat bahenol itu, bayangan hitam
lubang anusnya dan tumpukan rambut hitam di bawahnya membuat aku
kehilangan kontrol. Ku oleskan sebagian minyak goreng itu di atas pantat
ibu, sambil meremas-remasnya, dan kini berkilauan sebagaimana punggung
ibu tadi.
Dengan jantung berdegup, ku turunkan celana pendekku, lalu merangkap di
atas tubuh tengkurap ibu yang sangat nyenyak tertidur, namun kuupayakan
tidak menindihnya. Ku selipkan batang kemaluanku yang sedari tadi sangat
mengeras di antara belahan pantat ibu, lalu mulai menggosok-gosokannya
pelan, sehati-hati munkin agar ia tak terbangun. Tapi sensasi yang
kurasakan sangat luar biasa, anda akan paham jika lama tak merasakan
kenikmatan tubuh wanita. Mataku menyaksikan wajah ibu yang damai dalam
tidurnya, ia cukup manis walau munkin jarang tersentuh make up, ingin
rasanya kuciumi pipinya tapi tentu beresiko. Dan tak menunggu lama
ketika aku mengejang lalu semburan demi semburan sperma hangat ..dan
sangat banyak, hingga di pantat, punggung, bahkan leher ibu. Lama aku
mematung hingga denyutan-denyutan orgasmeku hilang dan kemaluanku mulai
mengerut. Baru kemudian aku beranjak....kepanikan kecil melandaku
melihat lelehan benihku di atas tubuh ibu. Ku lepaskan kaus kumal yang
kupakai, dan kugunakan sebagai lap menghilangkan jejak-jejak tindakan
mesum yang kulakukan malam itu. Dengan terburu-buru kurapikan kain
kemben ibu, dan bergegas keluar kamar. Usai dari kamar mandi kembali
kubaringkan tubuh,’’ apa yang kau lakukan”, pikirku...namun akhirnya
terlelap juga....dengan rasa puas.
Seperti biasa, pukul setengah enam pagi aku terbangun, usai sekedarnya
membersihkan rumah, ku sempatkan mengintip kamar ibu. Ia masih tertidur,
kain kembennya sudah terikat di dada, namun agak tersingkap di bagian
paha, membuat aku kembali menelan ludah. Di sebelahnya, anakku telah
terbangun, tengah asyik memainkan mobilannya sambil berbaring. Aku
kemudian mandi, sedikit tertegun melihat kaus kumal tadi malam, lalu aku
mencucinya.
“Bu...ibu,”, panggilku mencoba membangunkannya sambil sedikit menepuk
pundaknya. Matanya mulai membuka. “Sudah jam setengah delapan bu, ibu
sudah enakan?”..ia mengangguk pelan,’’ tapi masih lemas Den,
linu-linunya belum ilang, Ari mana?’’ tanya Ibu.”Sedang main di luar bu,
sudah saya mandikan dan kasih sarapan, tadi saya belikan bubur ayam di
depan, ibu sarapan ya?’’, jawabku sambil menawarkan bubur ayam. Ibu
bangkit perlahan dan duduk di tepi ranjang, semangkuk bubur dan segelas
teh kuletakan di atas meja kecil di dekat ranjang. Aku meninggalkannya.
Dan tak lama kemudian kembali aku memasuki kamarnya dan menyerahkan
obat,” lho..kok gak habis bu?”, tanyaku melhat bubur itu masih separuh
tersisa.”Masih pahit Den’’, jawabnya. “Ya udah, ibu minum obat ...air
panas udah saya siapkan di kamr mandi”, ibu lalu meminum obat dengan
perlahan...,”ibu masih pegal Den, mau istirahat lagi, ntar aja deh
mandinya”, jawabnya. “ehmm...kalau gitu saya kompres aja ya bu”,
tawarku...”gak usah repot...”, belum usai kalimatnya aku sudah setengah
berlari ke dapur, mengambil handuk kecil dan baskom kecil lalu
menuangkan air hangat ke dalamnya.
Ibu sudah terbaring di kamar ketika aku masuk. Aku mengambil kursi kayu
lalu duduk disampingnya, meremas handuk dan mulai secara lembut mengusap
wajahnya. “Ibu jadi gak enak nih Den, jadi ngerepotin kamu”, katanya.
“ah...ibu kan sudah seperti ibu saya sendiri”, jawabku sambil terus
melapi leher, pundak hingga dada atasnya. Lalu kedua lengannya hingga
ketiaknya yang putih dan sedikit ditumbuhi bulu itu, membuat senjata
biologisku mulai berulah. “Ibu bisa tengkurap sebentar?”, pintaku pada
ibu. Namun ibu justeru duduk membelakangiku untuk mempermudah melapi
pungunggnya. Usai belakang leher hingga bahu sampai batas kain ,’’bisa
turunin dikit kainnya bu?’’, tanpa berkata-kata ibu melepaskan ikatan
sarungnya, dan kembali kunikmati punggung yang kini berbelang merah
sampai batas pinggang itu, dengan lembut ku usap seluruh permukaan
kulitnya dengan handuk basah hangat tadi, dan butiran keringat mulai
muncul dari pori-pori kulitnya. Aku hanya bisa nyengir menyaksikan
beberapa bercak sprema kering yang mengerak di kulit punggung ibu dan
segera ku lap.
Nafas ibu tampak teratur, kali ini sasaranku bawah ketiak dan sisi
samping tubuh ibu. Kulihat kulitnya bulu-bulu kuduknya keluar. Semakin
sulit aku mengatur nafas manakal ujung jari ku menyentuh sisi
payudaranya. Dan seperti sengaja, aku berlama-lama mengusapkan handuk
itu di situ...”Den..”,teguran ibu menyadarkanku. Namun karena ia tak
menyuruhku berhenti, aku lalu memindahkan usapan tanganku ke bagian
depan tubuh ibu, yaitu perutnya yang masih tertutup sarung. Dan ibu
tidak protes. Mula-mula bagian tengah, lalu bagian atas...kucoba terus
mendesak ke atas dengan maksud menyentuh bagian bawah payudaranya, namun
terhalang tangan ibu yang masih mendekap sarung itu di dada. Lalu
kembali ke tengah perutnya..dan bawah...terus ke bawah pusarnya,
sehingga sebagian jari ku tak sengaja menyelip di bagian atas celana
dalamnya. Tangan ibu jatuh ke bawah mencoba mencegah aksiku lebih
lanjut, namun munkin karena panik membuat payudaranya tersingkap, dan
tak membuang waktu masih dengan handuk basah di tangan, ku usap-usap
perhiasan alami kaum wanita itu, “Den..” seru ibu dengan suara nyaris
berbisik...”ssshhh, tenang Bu” desisku menenangkan ibu yang kini
nafasnya mulai tersendat-sendat. Aku belum melakukan tindakan lebih jauh
kecuali melap dengan penuh kelembutan gunung kembar yang bahkan lebih
besar dari punya isteriku itu, namun degupan jantung dan deru nafasku
yang kian memacu sudah bisa menggambarkan betapa luar biasanya gairah
yang ditimbulkan tubuh ibu kandung isteriku itu.
Aku tidak tahu bagaimana perasaan ibu, yang aku tangkap hanya kuduknya
yang merinding, lalu tubuhnya yang agak gemetar dan deru nafasnya yang
mulai tak beraturan. Aku hanya bertindak mengikuti naluri...naluri
seorang pria yang sekian lama tak merasakan kehangatan tubuh wanita. Ibu
memegang kedua pergelangan tanganku, ada sedikit upaya menarik tanganku
dari permukaan dadanya, namun aku sudah kehilangan kendali...handuk
basah itu jatuh di pangkuannya, dan kini telapak dan jari jemariku mulai
meremas-remas gundukan daging kenyal itu dan memilin-milin putingnya.
Mulutku mengecup belakang leher dan pundak ibu. “Den....jangan”, ujarnya
lirih...ketika satu tanganku mencoba masuk menyelusup celana dalamnya,
ia memegang pergelangan tanganku yang sayangnya sudah berada di atas
gundukan bulu-bulu hitam lebat di bawah pusarnya. Dan pertahanan moralku
pun roboh, ku rebahkan tubuh ibu dan mulai menindihnya, ia melawannya
dengan mencoba mendorong tubuhku, namun tentu saja apalah arti tenaga
wanita separuh baya dibanding pemuda yang tengah terbakar
nafsu.”Den...jangan, aku ini ibu mu...ibu mertua mu..mmmff”..ucapannya
terhenti ketika kusumpal paksa mulutnya dengan
mulutku...”mmmf...Den..mmmhh”, tangannya terus meronta namun kutangkap
dan kurentangkan ke atas...membuatku tergoda untuk menciumi
ketiaknya...” Den...apa kata orang nanti...ini gak bener..Den...ouhhf”,
kembali kulumat bibirnya dan pergelangan tangannya ku tahan dengan satu
tangan karena sebelah tanganku sibuk berupaya melepaskan celana yang
kupakai. Ibu mulai menangis terisak, dan tubuhnya menggeliat-geliat
melakukan perlawanan namun justeru menciptakan pemandangan sensual yang
kian menggoda. Dan matanya membelalak dan kian panik ketika dengan paksa
kurenggut celana dalamnya..”preekkk”, dan ia melakukan perlawanan
terakhir dengan merapatkan kakinya, tetapi terlambat...satu lututku
telah berada di antaranya, dengan paksa kulebarkan kakinya...batang
kontolku sudah berada di antara dua pahanya..mencari-cari sebentar
dan..kurasakan tumpukan bulu-bulu di ujung kepala jamur kelaminku
itu...dan akhirnya menemukan sasarannya...celah di antara perbukitan
rumput hitam itu, yang ternyata...telah basah. Sehingga dengan sedikit
mudah benda tumpul itu mulai mendesak masuk....dan rasanya bahkan lebih
sempit dari rongga vagina isteriku....apakah karena ibu juga jarang
disentuh bapak mertua? Wajah ibu hanya meringis pasrah, air matanya
mengalir menemani isakan dari mulutnya.”maafkan aku, bu...aku sayang
ibu, aku butuh ibu, ibu juga kan?”, ujarku dengan mesra di depan wajah
ibu sambil berusaha mengayun-ayunkan pinggulku. Ibu hanya terisak dan
menggigit jarinya, dengan liar aku mulai memompa tubuhnya...oh luar
biasa nikmatnya. Mula-mula perlahan sampai makin cepat dan ganas
menyebabkan tubuh ibu dan payudaranya berguncang-guncang, sangat sayang
jika disia-siakan, maka segera kutangkap gunung kembar yang tengah
diguncang gempa itu, dan kugigit ringan dua pucuknya bergantian, membuat
ibu kian merintih.
Pagi itu suasana sejuk berubah menjadi panas, tubuhku dan tubuh ibu
mulai dibanjiri keringat. Kamar dengan cat mengelupas di sana sini itu
seolah-olah berubah menjadi kamar pengantin yang indah, diiringi deritan
ranjang tua yang bergerak dan suara kecipak dua kelamin beradu. Ku
tarik tangan ibu dari mulutnya, ku lumat bibirnya yang memerah
itu..”ouuhh..Den..mmmmf”, lenguhnya membuat aku kian brutal
mengobrak-abrik liang senggamanya, liang yang telah menghadirkan istriku
25 tahun lalu itu. Ibu setengah menjerit ketika tiba-tiba dua kakinya
dirangkulkan erat-erat di atas pinggangku dan kedua tangannya memeluk
ketat diriku...ia telah mengalami orgasme, menyadari hal itu menimbulkan
sensasi tersendiri hingga tak menunggu lama aku tak bisa lagi menahan
ejakulasi ku, semprotan demi semprotan benih terlarang bagai air bah
menerjang setiap sudut gua kenikmatan ibu mertuaku itu. Aku rebah di
atas tubuh telanjang ibu, mencoba mengatur nafas, dan ibu mengusap-usap
punggungku dan mengeramasi rambutku. Sampai akhirnya aku bangkit
meninggalkan tubuh ibu dan mencabut kelaminku dari jepitan vaginanya.
Dengan segera cairan putih kental mengalir keluar dari celah bibir
kemaluannya, menciptakan danau kecil di atas sprei lusuh. Segera
kusambar handuk basah tadi, ku basuhkan ke permukaan memek ibu dan
sprei, lalu kuusapkan pula ke sekujur batang kontolku. Kemudian menyusul
berbaring di sisi ibu.
Mata ibu menerawang ke langit-langit kamar tanpa plafon itu. Aku menatap
wajahnya yang masih basah bekas sisa keringat dan air mata. Dadanya
naik turun membawa serta dua gunung indah di atasnya, membuatku tergoda
untuk menjamahnya. Ibu tidak protes...”Den...kenapa kamu lakukan itu,
ini gak bener Den, ini dosa, apa kata tetangga nanti? Apa kata bapakmu?
Apa kata Asih? Ujarnya lirih. “Ma’afkan saya bu...saya khilaf, saya
lelaki normal bu, berpisah setahun dari Asih itu sangat berat buat saya
bu..tapi mau bagaimana lagi? Saya pasrah...seandainya ibu mau mengusir
saya silahkan, saya titip Ari aja bu”, jawabku. Ibu kembali menangis dan
berujar..”ibu gak akan ngusir kamu Den...kamu telah baik selama ini
membantu ibu, ini salah ibu juga, ibu minta ini jadi rahasia kita berdua
Den”, “saya akan jaga rahasia ini Bu”, jawabku pelan sambil berupaya
memeluknya, kali ini ibu dengan pasrah meringkuk dipelukanku dan
menumpahkan tangisan di dadaku sampai akhirnya mereda, dan entah siapa
yang mendahului kembali bibir kami saling berpagutan.
Tanganku mulai meremas-remas payudara montok milik ibu, sementara ibu
dengan malu-malu mengusap-usap batang penisku yang kembali siap tempur.
Pertarungan ronde kedua kembali dimulai. Menyadari ternyata ibu juga
memendam hasrat, kali ini setiap adegan film-film porno yang biasa aku
lihat bersama tetangga, kupraktekan. Aku bangkit mengangkangi dada ibu,
kuarahkan batang penisku ke mulutnya, mula-mula ia jengah menolak, namun
terus kupaksa, sampai akhirnya agak terbatuk-batuk ia telan nyaris
seluruh batang kontolku. Aku tak begitu bertindak memaksa khawatir ia
akan muntah-muntah lagi. Yang penting sensasi bahwa aku menguasai
dirinya menjadi kepuasan tersendiri. Ku putar tubuhnya hingga
membelakangiku, ku susun dua tumpuk bantal di bawah perutnya, sebelum
kusetubuhi dari belakang aku melakukan ritual menjilati setiap mili
memeknya, membuat ibu kembali merinding dan merintih-rintih.
Lalu...,’’jlebb’’...kembali batang kontolku tenggelam dalam liang
senggama ibunda isteriku itu. Kali ini ibu tak malu-malu mengeluarkan
suara rintihan nikmat. Pantat molek itu mulai berguncang-guncang akibat
hentakanku. Tanganku segera meraih gunung kembar yang kini bergantung
terayun-ayun.”ouuh...Den...oohhh”, rintih ibu menemani geramanku...tubuh
kami kembali berkilauan basah oleh keringat. Ronde kedua ini lebih lama
berlangsung...ibu menghujamkan wajahnya di bantal untuk meredam suara
pekikan ketika orgasmenya tiba..bagaimana munkin wanita sehangat ini
bisa ditinggal ayah mertua, pikirku. Capek melakukan doggi style,
kembali ku telentangkan tubuh bugil ibu mertuaku itu, pantatnya kembali
kuganjal bantal sehingga pinggulnya mendongak, ku pentangkan lebar-lebar
selangkangan ibu, dan kulipat lututnya hingga nyaris menyentuh
pundaknya...lalu satu tusukan teramat dalam kembali dialami lubang
kemaluan ibu.
Ibu kembali mendesah-desah menerima setiap hentakan demi hentakan
senjata biologis milikku...dan sekali lagi ia mengalami orgasme dahsyat
yang tak dirasakannya bertahun-tahun, mengundang datangnya orgasmeku
pula yang sekali lagi menyirami mulut rahimnya dengan cairan benih
potensial. Pagi itu hubungan menantu-mertua telah melanggar batas
menjadi hubungan terlarang sepasang kekasih yang masing-masing masih
terikat perkawinan. Dan persetubuhan itu kembali terjadi hingga aku
mengalami 5 kali orgasme,,,ibu mertua? Tak terhitung malah. Menjelang
siang aku segera beranjak keluar kamar yang kini beraroma seks itu.
Bagaimanapun aku harus mencari nafkah, dari situlah aku bisa membeli
susu untuk anakku dan kebutuhan sehari-hari yang biasanya kuserahkan
pada ibu mertua.
Malam menjelang pukul sembilan aku baru pulang. Ibu tengah menonton
TV menemani anakku yang tengah bermain. Seutas senyum kecilnya menyambut
kehadiranku. “Ibu udah sehat? ini bu, buat belanja besok”, ujarku
seraya menyerahkan 3 lembar uang 10 ribuan. “Makasih...ibu udah
mendingan kok, Deni makan dulu sana, ibu hanya beli makanan jadi tadi
siang, belum masak”, jawabnya. Benar kata orang, sex bisa jadi obat,
pikirku seraya menyambar handuk digantungan dan menuju kamar mandi. Usai
makan malam, aku bangkit ke ruang tengah. Ibu masih berbaring di depan
TV, sementara anakku sudah tertidur di sampingnya. Ku angkat dia dan
kubaringkan di ranjang ibu. Di luar kamar, tanpa basa basi lagi kutindih
tubuh ibu, ku lolosi daster lusuhnya melewati kepalanya, lalu beha dan
celana dalamnya. Bibir kami segera berpagutan. Kuremasi setiap bagian
indah lekuk tubuhnya, payudara, pinggul, pantat...sambil mencolokan dua
jemariku di vaginanya yang tanpa disuruh sudah diselaputi cairan
pelumas. “oohh...Den....aahh...”, bagai kepedasan ibu terus mendesah.
“Isap kontolku bu”, ujarku sambil menariknya agar berlutut
dihadapanku..sulit dibayangkan kata-kata tak pantas itu bisa keluar dari
mulutku terhadap seseorang yang seharusnya aku hormati .”mmmf
...mmmf..mff”, ibu mulai mahir melakukan hisapan, jilatan bak pelacur
profesional.
Puas merasakan hangatnya rongga mulut ibu, ganti aku mengunyah,
menghisap dan menusuk-nusuk lubang memeknya dengan lidah dan jemariku,
pinggul ibu bergerak kesana – kemari dan mulutnya mulai ribut merintih,
khawatir didengar tetangga, segera kuarahkan batang penisku ke mulutnya,
dalam posisi 69 kami saling mengecap kemaluan masing-masing hingga kami
puas. Di atas tikar lusuh itu, ibu dengan sadar membuka lebar-lebar
pahanya, membuat celah vaginanya merekah merah dan basah. Dan ia
meringis ketika kembali benda terlarang memasuki tubuhnya.
“oooh...Den,”...”ibu...ahhhss”, sekian menit kemudian di antara
rintihannya, ibu berkata..”den...pindah yuk, punggung ibu sakit kalau di
sini”, pintanya, aku mengangguk dan mencabut kemaluanku. Ibu beranjak
berdiri hendak berjalan menuju kamar, namun pinggangnya segera
kutangkap. Dari belakang kembali kusetubuhi ibu, kutangkap sepasang
payudaranya yang montok itu. Sambil kusetubuhi, ku dorong tubuhnya agar
berjalan, hingga kami tiba di dalam kamar. Ibu merangkak naik ke atas
ranjang tanpa batang kontolku meninggalkan jepitan liang senggamanya.
Kembali ku hentak-hentakan pinggulku hingga ranjang tua itu
berderit-derit, membuat apa yang diatasnya berguncang-guncang tak
terkecuali anakku yang tengah tidur dengan nyenyaknya.
Ibu menggigit jari mencegah rintihan keras keluar dari mulutnya.
Beberapa lama kemudian kembali kutelentangkan tubuhnya, dengan otomatis
ia membuka pahanya...dan “blesss”,,,batang penisku kembali amblas
ditelan rongga sempit,basah dan hangat milik ibu. Ku rentangkan
tangannya ke atas, kuhirup dalam-dalam aroma asli tubuh wanita setengah
baya yang masih sangat sensual itu. Keringat kami kembali saling melebur
menjadi satu, deritan ranjang tua itu mengiringi irama bergesekannya
dua kelamin dan suara jangkrik di luar. Dan Ibu menyembunyikan wajahnya
di dadaku ketika ia dilanda kepuasan bathin hubungan terlarang malam
itu. Dan berkali-kali pula cairan spermaku mengisi penuh rongga memek
ibu. Malam itu ibu mengalami lebih 6 kali orgasme, sedangkan aku sampai
empat kali hingga spermaku nyaris habis.
Bulan-bulan berikutnya hubungan haram itu terus berlangsung. Dan
membawa konsekwensi tumbuhnya benih yang kutanam. Untunglah sebelum
berkembang leih besar, bapak mertua datang. Walau membuatku begitu
cemburu ketika suatu malam ranjang tua kamar ibu kembali berderit, bukan
karena ulahku, tapi bapak mertua. Hingga sebulan kemudian bapak mertua
kembali dapat obyekan dan meyakini istrinya hamil karena dirinya.
Setelah ia pergi, bisa ditebak. Kembali ranjang tua itu berderit-derit
akibat persetubuhan aku dan ibu, sampai menjelang anak kami lahir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar